Pages

Monday, July 29, 2019

Faisal Basri: Waspada Defisit Energi Sudah Di Depan Mata

Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mewaspadai defisit energi yang diperkirakan sudah di depan mata. Laju defisit energi akan semakin cepat jika tidak ada upaya untuk menahannya. Bahkan, defisit energi bisa mencapai US$80 miliar atau 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada 2040.

"Mulai 2021 diperkirakan kita sudah mengalami defisit energi. Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual)," ujar Faisal dalam Diskusi Online INDEF bertema 'Problem Defisit Migas dan PR ke Depan', Minggu (28/7).

Skenario defisit di atas bertolak dari 2 faktor utama. Pertama, konsumsi energi Indonesia yang sekarang nomor 4 terbesar di antara negara berkembang dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Tahun lalu, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia sekitar 4,9 persen dengan pertumbuhan penduduk masih di atas 1 persen.

Kedua, produksi energi, terutama minyak dan gas (migas), yang turun secara konsisten.

Faisal mengungkapkan sejauh ini, neraca energi Indonesia masih surplus karena ditolong batu bara. Tahun lalu, ekspor batu bara mencapai US$20,6 miliar, sehingga transaksi energi secara keseluruhan masih surplus US$8,2 miliar.

Namun, khusus di sektor migas, neracanya tercatat defisit sejak 2012. Sebab, surplus neraca gas tak mampu mengimbangi defisit minyak akibat produksi minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM) yang tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik.

"Sejak 2013, kita mengalami defisit minyak mentah (crude). Artinya sejak 2013, impor minyak mentah lebih besar dari ekspor minyak mentah. Defisit BBM sudah jauh lebih lama, yaitu sejak 1996," terang Faisal.

Padahal, sambung dia, Indonesia pernah menjadi negara pengekspor migas terkemuka di dunia.

Melihat hal itu, Faisal menilai harus ada upaya untuk menahan laju penurunan produksi migas. Salah satunya, dengan memanfaatkan ladang migas yang sudah ditinggalkan kontraktor tapi sebetulnya masih tersisa cadangan sekitar 20-30 persen untuk jangka pendek. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi pengurasan minyak lanjutan (EOR).

"Dengan EOR, kita bisa meningkatkan produksi sampai sekitar 20 persen. Berilah insentif kepada kontraktor, terutama pengusaha-pengusaha nasional," ujarnya.

Selain itu, untuk kontrak bagi hasil produksi migas (PSC), pemerintah sebaiknya juga meninjau kembali skema gross split. Menurut Faisal, pemerintah sebaiknya menjadikan skema gross split sebagai sebuah opsi bukan kewajiban.

"Penerapan sistem gross split menyebabkan persentase proyek yang tidak ekonomis (uneconomic) meningkat dari 17 persen menjadi 18 persen untuk proyek minyak bumi sementara ketidakekonomisan proyek gas bumi dari sistem ini meningkat dari 35 persen menjadi 45 persen," ujarnya.

Dengan demikian, investor memiliki pilihan untuk menggunakan skema gross split ataupun skema pengembalian biaya operasi (cost recovery) dalam menggarap ladang migas di Indonesia. Terlebih, tingkat kesulitan ladang migas di Indonesia beragam.

"Jadi bukan sekedar perubahan PSC cost recovery ke PSC gross split, tapi menawarkan menu beragam. Siang tadi kami makan gado-gado dan sekarang menyantap rujak. Betapa aneh kalau gado-gado hanya satu jenis sayuran. Betapa aneh kalau rujak hanya satu jenis buah," ujarnya.

Investasi Masih Loyo
Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Indef Abra Talattov menambahkan investasi sektor migas di Indonesia belum memuaskan. Per Semester-I 2019, realisasinya baru US$5,21 miliar atau 35 persen dari targetnya tahun ini, US$14,79 miliar.

"Padahal, investasi migas merupakan syarat mutlak untuk dapat meningkatkan produksi migas nasional, memperkuat ketahanan energi nasional dan sekaligus menambah sumber penerimaan negara," ujar Abra.

Tahun lalu, investasi migas tercatat tumbuh sebesar 14,9 persen menjadi US$ 12,69 miliar. Namun, jika dirinci, investasi hulu migas hanya terealisasi US$11,99 miliar atau 84,65 persen dari targetnya, US$14,75 miliar. Investasi hilir juga tercatat merosot 10,92 persen secara tahunan menjadi US$689,66 juta, turun 10,92% dibandingkan 2017.

"Rendahnya realisasi investasi migas tersebut menjadi anomali di tengah suburnya terobosan kebijakan yang telah ditelurkan Pemerintah salah satunya seperti skema gross split yang digadang-gadang dapat meningkatkan keuntungan yang lebih besar bagi investor," tuturnya.

Menurut Abra, alih-alih insentif, yang menjadi perhatian investor justru soal stabilitas hukum dan politik, bukan sekedar insentif yang dijanjikan pemerintah. Pasalnya, investasi migas memiliki karakteristik jangka panjang.

Selanjutnya, tren kenaikan harga minyak dunia yang saat ini telah menyentuh level US$63 per barel atau telah mengalami kenaikan 18 persen sejak awal 2019 mestinya bisa menjadi peluang dan stimulus untuk menarik investasi hulu migas lebih masif lagi.

Terlebih, suhu geopolitik di kawasan ASEAN juga relatif terjaga di tengah hubungan AS-Eropa dengan Iran yang semakin tegang maupun instabilitas politik di Timur Tengah.

"Namun, lagi-lagi, hambatan domestik lah yang justru menjadi momok bagi investor migas," ujarnya.
[Gambas:Video CNN] (sfr)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/2LOV6WP
via IFTTT

No comments:

Post a Comment