Pages

Thursday, August 1, 2019

Alarm Industri Tekstil dari Gagal Bayar Bunga Duniatex

Jakarta, CNN Indonesia -- PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), entitas perusahaan tekstil Duniatex, habis-habisan dibuat anak usahanya, PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST), usai kasus gagal bayar bunga surat utang sebesar US$11 juta.

Sampai batas waktu yang ditentukan, yaitu 10 Juli 2019, DDST tak mampu membayar bunga atas obligasi global senilai US$260 juta.

Padahal, DMDT selaku induk DDST juga memiliki utang yang akan segera jatuh tempo pada September 2019. Nilainya juga tak bisa dibilang sedikit, yakni US$5 juta.

Wajar, jika lembaga pemeringkat Standard and Poor (S&P) memangkas peringkat obligasi global DMDT menjadi CCC- (triple C minus) dari sebelumnya BB-. Peringkat itu berbicara bahwa memang ada masalah keuangan perusahaan. S&P menilai keuangan DDST yang memburuk akan berdampak negatif pada arus kas DMDT.

Ekonom Indef Faisal Basri mengisyaratkan kondisi kelompok usaha Duniatex merupakan cerminan dari industri tekstil nasional yang tengah babak belur. Disebut babak belur karena dukungan pemerintah yang kurang, terlihat dari regulasi yang menghujani industri tekstil.

Dibandingkan negara-negara lain, regulasi di industri tekstil nasional termasuk yang paling banyak dan paling ketat. Tidak kurang dari 70 regulasi membatasi ruang gerak industri tekstil nasional. "Wajar, mereka (pelaku industri) ngos-ngosan," terang Faisal.

Belum lagi, aturan pemerintah terkait penerapan Pajak Penghasilan (PPh). Pajak tersebut dibayar di muka, yang dua kali lebih tinggi. "Ini kan membebani, jadi masalah cashflow (arus kas) sendiri," imbuhnya.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat tak menampik bahwa pemerintah belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri tekstil nasional. Salah satu indikatornya, yakni nilai bea impor untuk produk bahan baku tekstil tidak merata.

Contohnya, untuk impor benang dan serat dikenakan bea masuk sebesar 15 persen-20 persen. Sementara, impor kain tidak dikenakan bea impor sepeserpun. "Kalau seperti itu lebih baik beli kain impor dari luar negeri saja, lebih murah daripada beli benang ditenun sendiri. Masih ada disharmonisasi tarif," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/8).

Padahal, menurut dia, harmonisasi tarif perlu dilakukan di tengah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China seperti sekarang. Pengenaan bea masuk impor sebesar 25 persen dari AS kepada produk tekstil China membuat pemerintah Negeri Tirai Bambu itu mencari pasar lain, salah satunya Indonesia.

"Lihat kondisi sekarang, gajah dengan gajah bertempur, ini harusnya pemerintah lindungi pasar domestik untuk pertahankan lapangan pekerjaan," tutur dia.

Kemudian, pelaku usaha juga merasa tak diberikan kemudahan akses dalam menjual produknya ke luar negeri. Seharusnya, pemerintah bisa bekerja sama dengan perusahaan penerbangan dan kapal laut agar bisa memberikan harga murah kepada perusahaan tekstil dalam mengirim barang ke luar negeri.

"Mungkin, misalnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bisa ditugaskan pemerintah angkut barang ekspor, jadi murah. Lalu juga bisa berikan harga khusus. Pemerintah harusnya sinergi," jelas Ade.

Di sisi lain, industri memandang bunga kredit perbankan semakin mahal beberapa waktu terakhir. Berbeda dengan di luar negeri yang diklaim jauh lebih murah dari Indonesia.

Diketahui, Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan sebanyak enam kali sepanjang tahun lalu menjadi 6 persen. Hal itu mempengaruhi beban biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan.

Alarm Industri Tekstil dari Gagal Bayar Bunga DuniatexIlustrasi kegiatan tekstil dan produk tekstil. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
"Di luar negeri lebih murah, katakan lah Singapura dan Thailand bunga kreditnya lebih murah," imbuhnya.

Beruntung, BI tak menaikkan suku bunga acuan sejak Januari-Juni 2019. Bank sentral justru memangkas suku bunga acuan pada Juli 2019 sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen.

Namun demikian, bukan berarti industri tekstil bebas tantangan. Meskipun ia mengklaim industri tekstil nasional masih positif. Tak sependapat dengan Faisal, ia malah menilai kasus Duniatex tak bisa mewakili wajah industri secara umum.

"Duniatex masalah pribadi, masalah missmatch. Ini tidak berarti kinerja industri tekstil memburuk," tegas Ade.

Pernyataan Ade diamini pula oleh Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Muhdori. Ia memaparkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tumbuh pada kuartal I 2019 menjadi 18,98 persen dari periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar 7,46 persen.

Tak ayal, kontribusi industri ini terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia ikut naik. Semula hanya 5,72 persen, tapi dalam tiga bulan terakhir menjadi sebesar 6,43 persen.

"Persoalan Duniatex tidak ada kaitan dengan industri nasional. Kondisi nasional untuk ekspor dan penjualan di dalam negeri justru surplus dan membaik," ujar Muhdori.

Nilai ekspor sepanjang Januari-Mei 2019 tercatat sebesar US$5,63 miliar. Angka itu naik dari periode yang 2018 lalu sebesar US$5,61 miliar.

Sementara, nilai impor justru turun dari US$3,68 miliar menjadi US$3,49 miliar. Bila diakumulasi, neraca perdagangan TPT pada Januari-Mei 2019 surplus sebesar US$2,13 miliar dan sebelumnya US$1,93 miliar.

Bila ditarik agak jauh, nilai ekspor memang terus meningkat sejak 2016 lalu. Tepatnya, pada 2016 sebesar US$11,87 miliar, 2017 US$12,59 miliar, dan tahun lalu kembali menanjak menjadi US$13,27 miliar.

"Jadi memang meningkat beberapa tahun ini. Industri tekstil ini sudah punya daya saing yang kuat," kata Muhdori.

Terlebih, industri kini sedang mengembangkan produk baru bernama serat selulosa atau rayon. Dari kategori baru ini, pemerintah berharap penjualan ekspor TPT semakin menggeliat tahun ini.

Kementerian Perindustrian menargetkan nilai ekspor TPT tahun ini tembus US$15 miliar. Angkanya naik 13 persen dari realisasi tahun lalu. "Indonesia sudah punya pasar yang kuat di luar negeri, kualitas bagus, apalagi dengan rayon bisa ada diversifikasi produk," imbuh Muhdori.

Intinya, ia menyatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan dari produk impor yang masuk ke Indonesia. Selain karena jumlahnya yang menurun, ia memastikan bahwa impor itu mayoritas hanya dari sisi hulu.

"Impor bukan barang haram. Penjualan industri tetap baik-baik saja karena memang yang diimpor adalah bahan baku yang diolah lagi untuk kebutuhan ekspor," ucapnya.

Dengan menggunakan barang impor sebagai bahan baku, sambung Muhdori, ada nilai tambah dalam penjualan sebesar 15 persen-20 persen. "Makanya, ekspor pakaian jadi naik," terang dia.

Kendati secara keseluruhan tampak positif, bukan berarti tidak ada tantangan di industri tekstil. Beberapa hal yang diakui Muhdori masih membebani perusahaan adalah terkait kebijakan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang mengenakan tarif listrik lebih mahal terhadap pabrik pukul 18.00-22.00 WIB.

"Kalau ada pabrik yang beroperasinya dua shift kan jadi kena beban puncak. Kami inginnya tarif sama seperti siang hari," katanya.

Lalu, pembaruan untuk mesin-mesin yang usianya sudah di atas 20 tahun. Masing-masing perusahaan tentu harus mengeluarkan investasi baru untuk hal tersebut.
[Gambas:Video CNN]
Kinerja Mengilap

Kinerja industri tekstil tampak sejalan dengan realisasi pendapatan beberapa perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Wakil Direktur Utama PT Pan Brothers Tbk Anne Patricia Sutanto menyatakan penjualannya meningkat pada semester I 2019. Bahkan, trennya dalam lima tahun terakhir diklaim cukup positif.

Mengutip laporan keuangan perusahaan, Pan Brothers mengantongi pendapatan bersih pada semester I 2019 sebesar US$284,79 juta atau naik dari periode yang sama tahun lalu US$260,94 juta.

Bila dirinci, mayoritas pendapatan perusahaan didapat dari penjualan ekspornya yang sebesar US$267,38 juta. Sementara, penjualan di dalam negeri hanya berkontribusi sebesar US$17,7 juta.

Nilai penjualan di dalam negeri tampak berkurang karena sebelumnya di angka US$19,53 juta. Berbeda dengan nilai ekspor yang naik, di mana pada semester I 2018 hanya US$241,67 juta.

"Pan Brothers memang orientasinya ekspor. Sebenarnya perusahaan kalau memang berorientasi ekspor sangat diuntungkan karena pemerintah turut membantu," tutur Anne.

Beberapa negara tujuan ekspor Pan Brothers terbesar, yakni Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Sementara, kliennya adalah Uniqlo, Adidas, dan The North Face.

Kenaikan penjualan perusahaan membuat laba bersih melonjak menjadi US$8,47 juta. Realisasi itu jauh lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya US$4,77 juta.

Untuk tahun ini, perusahaan optimis penjualan ekspor, penjualan bersih, dan laba bersih akan meningkat sekitar 12 persen-15 persen. Target kinerja pun akan semakin meningkat, mengingat akan ada pembeli baru di luar negeri yang pengirimannya dilakukan mulai 2020.

Perusahaan lainnya, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex juga menorehkan kinerja positif pada enam bulan pertama tahun ini. Penjualannya naik dari US$543,76 juta menjadi US$631,64 juta.

Penjualan itu terdiri dari ekspor sebesar US$377,69 juta dan lokal US$253,94 juta. Beberapa barang yang dijual oleh Sritex, antara lain benang, kain jadi, pakaian jadi, dan kain mentah.

Sejauh ini, perusahaan mengekspor barangnya ke Asia, Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Arab, Afrika, dan Australia. Mayoritas didominasi oleh Asia dengan nilai US$228,4 juta. Kenaikan penjualan mendorong perolehan laba bersih per semester I 2019 menjadi US$63,24 juta. Realisasi itu naik 12,28 persen dari posisi sebelumnya US$56,32 juta.

(bir)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/334GCHT
via IFTTT

No comments:

Post a Comment