Lavinda & Yuli Yanna Fauzie, CNN Indonesia | Jumat, 19/07/2019 08:20 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Tepat pada Minggu sore, 26 November 2014, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkenalkan para punggawa Kabinet Kerja di pelataran Istana Kepresidenan. Sebanyak 34 tokoh terpilih untuk membantu Kepala Negara menyelesaikan persoalan negeri.Khusus masalah ekonomi, presiden tak hanya menyiapkan satu, melainkan dua koordinator menteri. Sofyan Djalil dipilih sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, sedangkan Indroyono Soesilo sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman yang baru dibentuk di era Jokowi.
Tokoh lain yang terpilih yakni, Bambang Brodjonegoro sebagai Menteri Keuangan, Andrinof Chaniago sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Selain itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Bagian lain, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, dan Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga.
Di jajaran ekonomi mikro, terdapat Saleh Husin sebagai Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Dalam perjalanannya, Jokowi melakukan empat kali bongkar pasang jabatan menteri dalam kurun empat tahun. Formasi akhir yang terbentuk memunculkan wajah-wajah baru seperti Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Enggartiasto Lukita sebagai Menteri Perdagangan, Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian, Archandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM, dan Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Kemaritiman.
Beberapa nama menteri yang digeser antara lain, Bambang Brodjonegoro menjadi Menteri PPN, dan Sofyan Djalil menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang. Sementara itu, Jonan yang sempat dicopot dari jabatan Menteri Perhubungan selama beberapa saat, akhirnya kembali masuk ke jajaran kabinet sebagai Menteri ESDM.
Selama hampir lima tahun masa pemerintahan Kabinet Kerja, sejumlah persoalan ekonomi menyita perhatian masyarakat. Mulai dari persoalan makro seperti defisit neraca transaksi berjalan yang kritis hingga persoalan di sektor mikro seperti polemik mahalnya harga tiket pesawat.
Dari catatan terakhir kinerja ekonomi makro Kabinet Kerja, realisasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2018 tercatat yang paling tokcer dibanding pencapaian tahun-tahun sebelumnya.
Baru kali pertama pemerintah menembus target penerimaan, yakni mencapai 102,5 persen, atau Rp1.942,3 triliun dari target awal Rp1.894,7 triliun. Total belanja negara juga mencatatkan rekor penyerapan tertinggi, yakni Rp2.202,2 triliun atau 99,2 persen dari pagu Rp2.220,7 triliun.
Kendati demikian, kinerja APBN yang mulus berbanding terbalik dengan asumsi makro yang meleset dari target. Sebut saja pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,1 persen dari target awal 5,4 persen, tingkat bunga SPN 3 bulan sebesar 4,95 persen dari asumsi 5,2 persen, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp14.247 dari asumsi Rp13.400.
Belum lagi inflasi 3,13 persen dari target 3,5 persen, dan harga minyak mentah Indonesia yang mencapai US$67,5 per barel dari asumsi awal hanya dipatok US$45 per barel. Lifting minyakpun cuma 776 ribu barel dari target 800 ribu barel.
Dalam kurun hampir lima tahun, pemerintah mendorong kebijakan yang berefek jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur dasar dan pembenahan sistem administrasi lewat Online Single Submission (OSS). Hal itu terus dilakukan meski efeknya belum terasa signifikan saat ini.
Bukan tanpa cacat, sejumlah pembangunan infrastruktur juga terpaksa berhenti atau tertunda karena berbagai faktor. Mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, kendala pembebasan lahan, hingga ketersediaan dana segar.
Terkait investasi, pemerintah berupaya menerapkan sejumlah kebijakan seperti, revisi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan mereformasi sistem perizinan investasi.
Tak hanya investasi, persoalan deindustrialisasi yang menjadi momok sejak puluhan tahun lalu diatasi dengan mendorong industri sumber daya alam (SDA) dari hulu ke hilir. Hal itu tentu bertujuan menghidupkan kembali aktivitas industri nasional, sehingga tak perlu terikat dengan kondisi ekonomi global.
Dari sisi mikro, persoalan ketersediaan komoditas pangan masih terus bergulir, termasuk di dalamnya soal kebijakan ekspor dan impor bahan pangan. Perbedaan pendapat terjadi yang bersumber pada perbedaan data masing-masing kementerian terkait. Pemerintah akhirnya berupaya meminimalisir perbedaan data komoditas melalui program Satu Data Indonesia yang baru terbit beberapa bulan lalu.
Dari sektor energi, pemerintah menciptakan program bahan bakar minyak (BBM) satu harga untuk menciptakan stabilitas harga. Selain itu, adapula upaya untuk mendorong penggunaan minyak sawit sebagai sumber bahan bakar baru, melalui program B20 hingga B100. Namun demikian, persoalan impor migas masih terus menghantui ekonomi Indonesia.
Gabungan deindustrialisasi dan persoalan komoditas, baik migas maupun nonmigas menyebabkan kondisi neraca transaksi berjalan babak belur hingga tahun kelima pemerintah bekerja.
Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi
|
Bersambung ke halaman berikut...... (asa)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2SroVxl
via IFTTT
No comments:
Post a Comment