Artinya, pelaku ekonomi kreatif bisa menggunakan hak kekayaan intelektual untuk mendapatkan akses pelayanan di bidang keuangan, seperti kredit dari perbankan.
Sayangnya, ketentuan dalam UU itu dinilai tak serta merta bisa membuat para pelaku ekonomi kreatif akan mudah mendapatkan aliran modal usaha dari bank.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai UU tidak bisa menjadi jaminan karena belum ada aturan turunan yang merinci akses pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif. Misalnya, regulasi dari pemerintah dan regulator di sektor keuangan.
"Pasal-pasal yang ada masih sangat umum. Kalau UU masih longgar, implementasinya akan susah, meski sudah disahkan," ujar Eko kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/10).
Selain belum ada aturan turunan, Eko memandang jaminan dari UU terhadap akses pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif juga akan sulit terwujud karena agunan berupa hak kekayaan intelektual. Bentuk agunan ini, sambungnya, masih abstrak dan sulit dinilai.
Sekalipun bisa dinilai, katanya, perlu lembaga khusus yang kemudian harus dibentuk dalam ekosistem ekonomi kreatif. Lembaga tersebut akan memegang tugas untuk melakukan penilaian terhadap hak kekayaan intelektual tersebut atau ibaratnya seperti lembaga rating.
Dengan begitu, hak kekayaan intelektual bisa dinilai sesuai dengan 'harga pasar' seperti halnya bentuk agunan lain yang kerap digunakan untuk mendapatkan kredit bank, seperti tanah dan bangunan. Sebab bila tidak ada, menurut Eko, bank akan tetap sulit memberi pinjaman kredit kepada pelaku ekonomi kreatif karena tidak ada standar nilai dan patokan harga di pasar.
"Kalau tidak begitu, nanti bank bisa saja asal menilai agunan, sehingga kredit yang dikasih kecil, atau sebaliknya, peminjam menggunakan hak kekayaan intelektual seolah-olah pelaku ekonomi kreatif, ternyata hanya demi dapat pinjaman," jelasnya.
Lebih lanjut, meski sudah ada lembaga rating pun, menurutnya, bank lagi-lagi bisa saja belum cukup yakin mengucurkan kredit ke sektor ini. Sebab, ekonomi kreatif terbilang baru, sehingga masih cukup berisiko dari sisi prospek usaha maupun nilai hak kekayaan intelektual yang melekat.
Pasalnya, sumbangan perekonomian nasional dari ekonomi kreatif masih cukup minim. Oleh karena itu, menurutnya, perlu peran lebih dari pemerintah untuk membantu sektor ekonomi kreatif agar bisa berkembang di luar UU.
Misalnya, program akses pembiayaan khusus. Menurutnya, pemerintah bisa memperluas program Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke sektor ekonomi kreatif, khususnya yang memang berskala kecil dan menengah.
Sebab, program KUR seolah 'memaksa' bank agar mau tidak mau tetap memberikan porsi kredit kepada sebuah sektor. Dengan begitu, daya dorong pembiayaan kredit kepada pelaku ekonomi kreatif jauh lebih besar.
"Selain dukungan pembiayaan yang lebih riil, perlu ada dukungan pembentukan iklim dan ekosistem ekonomi kreatif itu sendiri," tuturnya.
Pemerintah, katanya, bisa menjadi 'mak comblang' antara pemilik modal alias investor dengan pelaku usaha ekonomi kreatif. Menurutnya, pola bisnis ini cocok bagi ekonomi kreatif yang kebanyakan berskala perusahaan rintisan (start up).
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan UU Ekonomi Kreatif tidak akan cukup menjamin karena tidak didukung dengan kebijakan konkret di lapangan. Untuk itu, menurutnya, perlu ada peran regulator sistem keuangan dalam memetakan akses kredit bagi ekonomi kreatif bila ingin benar-benar mendukung sektor ini.
"Perlu tugas OJK untuk menjabarkan UU Ekonomi Kreatif di bidang perbankan dan sektor keuangan," ungkapnya.
Sementara Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat penggunaan hak kekayaan intelektual sebagai agunan sejatinya akan membuat modal pemberian kredit bank kepada pelaku ekonomi kreatif lebih besar ketimbang ke sektor usaha lain. Sebab, ada 'ongkos' yang perlu dikeluarkan untuk menilai agunan yang digunakan.
"Valuasi dari desain dan produk seni mungkin bisa dilakukan oleh orang yang berpengalaman dan ahli di bidang tersebut, tapi ada pertambahan biaya untuk penilai dan waktu yang lebih lama untuk menilai agunan," jelasnya.
Di sisi lain, ia melihat UU ini tetap membuat bank akan berhati-hati memberikan aliran kredit. Sebab, tidak didukung oleh peraturan dari Bank Indonesia (BI) dan OJK terkait ketentuan agunan.
(uli/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2omxwX5
via IFTTT
No comments:
Post a Comment