Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan beralasan data yang sudah didapatkan memang bertumpuk dan sangat banyak. Hal itu tak mengherankan karena Indonesia menerima data nasabah Warga Negara Indonesia (WNI) yang berasal dari 68 yurisdiksi.
Data-data tersebut juga dikirim secara berkala, sehingga penyaringan data menjadi fokus DJP, meski AEoI sudah hampir setahun diberlakukan. Jika data tersebut sudah akurat, maka data itu bisa disebar ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk dicocokkan kembali.
"Bukannya tidak kami kerjakan, tapi kami memang setahun ini ekstra hati-hati untuk menyaring dan membersihkan data. Memastikan bahwa apa yang kami tindaklanjuti ini adalah akurat," jelas Robert, Rabu (17/7).
Ia mengatakan daftar negara yang bisa melakukan tukar menukar informasi nantinya akan bertambah tahun ini, sehingga DJP harus siap untuk memproses data massal tersebut secara akurat.
Ia tidak menyebut jumlah tambahan yurisdiksi di mana pemerintah bisa memperoleh data-data nasabah WNI. Namun sebelumnya, DJP mengatakan pemerintah akan memperoleh informasi nasabah WNI di 94 negara hingga akhir tahun ini.
"Daftarnya dari waktu akan berkembang terus, tapi bagi kami yang penting adalah bagaimana memprosesnya secara proper dan akurat saja," jelas dia.
Sementara itu, Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol mengatakan instansinya sudah memperkuat proses pengolahan data AEoI melalui dua direktorat baru di bawah tubuh otoritas pajak tersebut. Adapun, dua direktorat baru ini adalah Direktorat Data dan Informasi Perpajakan dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang diresmikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 8 Juli lalu.
"Datanya sudah ada dan kami akan tindaklanjuti dengan dua direktorat baru untuk respons AEoI tersebut," jelas dia.
AEoI merupakan satu dari beberapa kesepakatan pertukaran data nasabah yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain. Sebelumnya, Indonesia sudah melakukan pertukaran dokumen pajak per negara (Country by Country Report/CbCR) melalui perjanjian bilateral. CbCR sendiri merupakan upaya untuk mencegah transfer pricing, yakni pengalihan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari satu negara ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah.
Sesuai UU Nomor 9 Tahun 2017, data yang bisa dipertukarkan dengan negara lain mencakup identitas pemilik rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo rekening per 31 Desember 2017, dan penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).
Data lembaga jasa keuangan internasional yang dapat diintip DJP adalah nasabah yang memiliki rekening keuangan mulai dari US$250 ribu yang telah dibuka sebelum 1 Juli 2017. Sedangkan untuk rekening keuangan lainnya, tak ada batasan saldo minimum.
[Gambas:Video CNN]
Sebaliknya, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2017, lembaga jasa keuangan di dalam negeri harus melaporkan data nasabah dengan rekening dengan nominal minimum Rp1 miliar per 31 Desember 2017 paling lambat pada 30 April 2018. (glh/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2XTQrV9
via IFTTT
No comments:
Post a Comment