Jargas dipilih sebagai alternatif penggunaan Liqufied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg) yang saat ini disubsidi dan pasokannya sebagian di impor.
"Proyek ini tidak ada di Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), eh tiba-tiba nongol," ujar Faisal, Kamis (25/7).Menurutnya, proyek tersebut tidak efisien. Pasalnya, pengadaannya mahal karena jaringan transmisinya memiliki panjang ribuan kilometer.Pemerintah harus membangun jaringan pipa yang sebagian ditugaskan kepada perusahaan pelat merah.
"Kebetulan proyek ini butuh pipa. Produsen pipa cuma 2 yaitu Citra Turbindo dan Bakrie Pipe," ujarnya. Selain itu, sambung ia, jargas juga tidak bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha mikro keliling yang membutuhkan kompor portabel. Alih-alih jargas, Faisal menilai pemerintah seharusnya mendorong program kompor listrik yang lebih efisien.Terlebih, hampir 100 persen masyarakat sudah terjangkau oleh jaringan listrik.
Faisal memahami pemerintah ingin mengurangi impor LPG melalui proyek jargas di dalam negeri.[Gambas:Video CNN]
Namun, Faisal mengingatkan untuk menghemat impor pengeluaran di dalam negeri harus lebih rendah dari kurs US$1.
Dengan menjalankan proyek jargas, pemerintah kembali menambah beban BUMN.
"Proyek listrik 35 ribu MW saja belum selesai. Ini ada mega proyek lagi," tuturnya. Ke depan, sambung Faisal, pemerintah bisa bekerja sama dengan PT PLN (Persero) untuk penyediaan kompor listrik bagi masyarakat. Cara ini bisa menggantikan penyediaan tabung gas 3kg oleh pemerintah.Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengungkapkan untuk wilayah yang memiliki sumber gas, lebih baik memanfaatkan gas apalagi kalau bersumber dari gas flare."Sayang kan gas dibakar percuma dan mencemari udara, untuk wilayah yang sudah tersedia listriknya dan berlebihan listriknya silakan pakai kompor listrik," tuturnya ketika dikonfirmasi Jumat (26/7).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai saat ini biaya penggunaan kompor listrik sekitar 20 persen lebih murah dari LPG nonsubsidi tetapi masih lebih mahal dibandingkan dari jargas.
"Kalau dengan harga yang sekarang, masih lebih murah jargas dibandingkan kompor listrik," jelas Fabby.Penetrasi kompor listrik juga perlu waktu. Maklum harga kompor listrik cukup mahal.Selain itu, daya yang dibutuhkan kompor listrik juga besar di atas 1.000 Watt. Artinya, masyarakat yang hanya memiliki daya listrik kecil tidak bisa menikmatinya.
"Paling tidak Anda harus memiliki daya 5.500 VoltAmpere VA, masak Anda hanya punya kompor 1?," ujarnya. Jika pemerintah ingin mendorong kompor listrik, pemerintah dapat menyasar golongan menengah ke atas terlebih dahulu. Selain itu, penghuni apartemen dan rumah susun juga bisa menjadi sasaran pengguna kompor listrik yang potensial.Selain itu, pemerintah juga harus rajin melakukan sosialisasi penggunaan kompor listrik kepada masyarakat. Pasalnya, menurut Fabby, tidak mudah mengubah pola masyarakat yang terbiasa memasak menggunakan api.Sebagai informasi, BPH Migas mencatat pembangun jargas hingga 2018 telah mencapai 325.852 sambungan rumah tangga (SR) yang tersebar di 40 kota/kabupaten. Tahun depan, Kementerian ESDM mengusulkan anggaran pembangunan jargas melonjak lebih dari 4 kali lipat dari pagu tahun ini yaitu dari Rp852,48 miliar menjadi Rp3,52 triliun.
Seiring peningkatan anggaran, target pembangunan jargas tahun depan juga melesat dari 78.216 sambungan rumah tangga (SR) di 17 kota/kabupaten menjadi 293.533 SR di 53 kota/kabupaten.
(sfr/agt)from CNN Indonesia https://ift.tt/2GuNOmV
via IFTTT
No comments:
Post a Comment