Hingga Mei 2019, posisi ULN tercatat US$386,13 juta atau setara dengan Rp5.405 triliun. Angka itu melonjak 8,52 persen dibanding posisi tahun sebelumnya US$355,8 juta.
Pertumbuhan itu bahkan lebih kencang dibanding tahun sebelumnya yang hanya mencatat 4,05 persen.
Kenaikan utang tentu harus diimbangi dengan kemampuan membayar. Hanya saja, kemampuan Indonesia untuk membayar utang luar negeri dianggap masih tak terlalu baik.
Hal ini terlihat dari Debt Service Ratio (DSR) utang luar negeri pemerintah. Pada kuartal I, rasio pembayaran utang jangka pendek dan jangka panjang (tier 1) meningkat dari 25,99 persen pada 2018 menjadi 26,18 persen tahun ini.
Rasio DSR dihitung dari pokok pinjaman dan bunga untuk kemudian dibandingkan dengan penerimaan pada neraca transaksi berjalan seperti ekspor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.
Jika rasio DSR menurun, artinya tambahan penerimaan lebih besar dari tambahan utang, sehingga kemampuan membayar utang kian mumpuni. Namun, jika DSR menurun, artinya kemampuan membayar utang luar negeri juga berkurang.
Saat ini, DSR Indonesia terbilang tinggi dibanding negara tetangga di kawasan. Menurut data Asian Development Bank (ADB) 2018 lalu, DSR Indonesia masih lebih besar ketimbang Malaysia sebesar 5,2 persen, Filipina sebesar 4 persen, dan Thailand sebesar 5,7 persen.
Melihat kondisi ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa utang luar negeri yang ditarik Indonesia sejatinya tidak begitu efektif. Pasalnya, angka DSR yang naik bisa menjadi indikasi bahwa utang luar negeri tidak serta merta digunakan untuk kegiatan yang bisa menghasilkan devisa.
Padahal, devisa dianggap penting mengingat utang ditarik menggunakan denominasi dolar AS, sehingga pasokan dolar AS pun harus cukup. Namun, ia menyebut penggunaan utang luar negeri malah digunakan untuk kegiatan yang kurang produktif.
"Ketidakmampuan menghasilkan pendapatan ekspor karena ULN dipakai untuk kegiatan non-produktif utamanya gali lubang tutup lubang, misalnya refinancing. Ini menunjukkan ada korelasi yang putus antara kenaikan ULN dengan upaya mendorong ekspor," jelas Bhima kepada CNNIndonesia.com, Jumat (2/7).
Ia mengatakan rasio DSR Indonesia pun sudah melebihi batas amannya, yakni 25 persen. Biasanya, rasio DSR di atas 25 persen bisa membawa negara jatuh ke dalam krisis seperti Brazil, Turki, hingga Kolombia.
Maka itu, harus ada upaya penerimaan transaksi berjalan, seperti ekspor, agar DSR bisa tetap aman. Hanya saja, meningkatkan ekspor pun bukan perkara mudah. Kondisi perang dagang antara Amerika Serikat dan China serta perlambatan ekonomi global membuat kinerja ekspor dalam negeri tak mumpuni.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa total ekspor Indonesia pada Januari hingga Juni tahun ini tercatat US$80,32 miliar, atau turun 8,57 persen dibanding tahun lalu yakni US$87,86 miliar. Maka itu, penggunaan utang yang tak efektif jangan dijadikan satu-satunya kambing hitam atas tingginya rasio pembayaran Indonesia.
"Dari sisi demand (ekspor) juga ada masalah, apalagi ke depan juga masih ada tekanan dari perang dagang," tutur dia.
Jika sudah demikian, maka pemerintah harus segera membuat kebijakan agar ekspor Indonesia bisa berdaya saing. Misalnya, memfasilitasi swasta untuk promosi dagang, memperluas peluang ekspor di pasar non-tradisional, dan insentif yang efektif bagi ekspor.
Kalau ekspor kian meningkat, maka transaksi berjalan Indonesia membaik sehingga pasokan valas juga bisa membaik. Terlebih, selama ini neraca perdagangan adalah biang kerok dari defisit transaksi berjalan selama ini.
"BI juga perlu lakukan pengawasan ekstra ke perusahaan swasta yang menarik ULN untuk refinancing serta swasta yang belum lakukan hedging," tutur dia.
(CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi).
|
Utang Tak Harus Hasilkan Devisa
pendapat berbeda dilontarkan oleh Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Ia mengatakan rasio pembayaran tidak boleh dijadikan tolak ukur efektivitas utang luar negeri. Sesuai kodratnya, rasio pembayaran hanya mengukur kemampuan membayar utang luar negeri, semata bukan mengukur efektivitasnya.
Ia beralasan salah satu komponen utang luar negeri adalah utang pemerintah. Dari utang luar negeri sebesar US$386,13 juta per Juni 2019, sebanyak US$186,29 juta atau 48,24 persen dari total utang merupakan utang pemerintah. Sementara itu, utang pemerintah tentu ditujukan demi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tentang Keuangan Negara, APBN memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Sehingga, tidak tepat jika efektivitas luar negeri hanya diukur dengan kemampuan menghasilkan devisa semata jika di dalam utang tersebut ada kewajiban menjalankan fungsi APBN.
"Saya kira itu tidak relevan untuk dijadikan tolak ukur efektivitas utang luar negeri. Apalagi produktivitas utang tidak melulu soal hasilkan devisa. Utang pemerintah misalnya, itu kan harus sesuai dengan fungsi APBN. Selama utang itu dijalankan sesuai fungsinya, maka utang itu efektif," jelas dia.
[Gambas:Video CNN]
Menurut dia, rasio pembayaran Indonesia yang besar tentu memberikan hikmah bahwa Indonesia perlu untuk meningkatkan penghasilan devisanya. Salah satunya, yakni dengan ekspor.
Namun, meningkatkan ekspor juga butuh waktu. Ia mengatakan, mengubah perekonomian Indonesia agar bisa berorientasi ekspor juga perlu kerja keras, sebab artinya struktur ekonominya juga harus dibenahi.
Sejauh ini, ekspor Indonesia masih berupa komoditas, sementara negara yang punya kinerja ekspor mumpuni punya keunggulan di barang-barang manufaktur dan bernilai tambah tinggi.
"Jadi kemampuan membayar utang ini hanya gambaran saja bahwa Indonesia butuh ekspor yang besar. Jangan langsung membayangkan bahwa utang Indonesia bahaya, itu tidak benar juga. Jangan langsung mengatakan bahwa utang Indonesia buruk dan tidak efektif hanya karena, misalnya, kinerja ekspor tidak baik," pungkas dia. (glh/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/31cxPC8
via IFTTT
No comments:
Post a Comment