Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Purbaya Yudhi Sadhewa mengatakan masalah pendanaan muncul karena sistem yang terjadi di masa lalu.
Menurutnya, kewajiban untuk mencadangkan dana untuk pasca-tambang baru berlaku sesuai kewajiban kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) yang diteken setelah tahun 1994.
Namun, di dalam ketentuan sebelum PSC tahun 1994, skema pembayaran dana pasca-tambang diajukan melalui sistem bundling bersamaan dengan komitmen pasti Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) saat menandatangani PSC. Dengan kata lain, pemerintah belum bisa mengurai jumlah uang yang sejatinya bisa digunakan untuk kegiatan pasca-tambang.
Hanya saja, ia tak menyebut jumlah anjungan hulu migas yang merupakan buah dari PSC sebelum tahun 1994.
"Jadi pemerintah perlu bayar untuk itu (pembongkaran anjungan migas). Walaupun uangnya sudah disetor lewat bundling, tapi sedang dicarikan cara pembiayaannya oleh Kementerian Keuangan," ujar Purbaya, Senin (9/9).Secara rerata, lanjut dia, seharusnya pembongkaran satu anjungan hulu migas bisa menelan dana US$7 juta. Sehingga, dana yang dibutuhkan untuk pembongkaran diperkirakan mencapai US$700 juta atau setara Rp9,8 triliun.
Namun, saat ini tim yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta PT Pertamina (persero) sedang menghitung angka kebutuhan yang lebih pasti.
"Tapi sebagai negara kami wajib memotong titik-titik (pembongkaran) tersebut," jelas dia.
Dalam waktu dekat, lanjut dia, pemerintah akan membongkar 10 anjungan hulu migas terlebih dulu dengan rincian tiga anjungan berada di Kalimantan Timur dan tujuh anjungan di Laut Jawa.Adapun, 10 anjungan ini dipilih karena dianggap tidak mengganggu Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 dan ALKI 2. Sekadar informasi, jalur ALKI 1 terdiri dari Selat Sunda-Selat Karimata-Laut Natuna-Laut Cina Selatan sementara ALKI 2 mencakup Selat Lombok-Selat Makassar-Laut Sulawesi.
"Yang diutamakan yang tidak mengganggu jalur pelayaran prioritas dulu. Sementara ALKI 1 dan ALKI 2 nanti kami bereskan secara bertahap," tambahnya.
Dari 10 anjungan tersebut, dua diantaranya sudah mengamankan pendanaan. Sementara itu, pemerintah masih mencarikan skema pembiayaan yang cocok untuk delapan sisanya. Namun, Yudhi berharap 10 anjungan migas ini bisa dibongkar dalam satu tahun ke depan.
"Tinggal dananya saja karena masih dihitung Kemenkeu dan biaya pemotongan ini cukup mahal. Misalnya, kalau melihat tiga anjungan di blok Attaka yakni Attaka 1, Attaka UA, dan Attaka DB ini totalnya US$22,7 juta," jelas dia.Sementara itu, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Fatar Yani Abdurrahman menjelaskan prioritas pembongkaran anjungan migas akan disesuaikan dengan kebutuhan jalur pelayaran. Hanya saja, pemerintah masih mempertimbangkan alternatif lain kegiatan pasca-tambang selain pembongkaran.
Terdapat empat alternatif yang masih direncanakan yakni dijadikan rumpon (rig to reef), penghancuran secara total, digunakan oleh Angkatan Laut sebagai pos jaga, atau objek wisata.
Namun, rekomendasi pembongkaran anjungan migas ini disebutnya ada di tangan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. Kemudian, persetujuan akhirnya terdapat pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan.
"Namun, sejauh ini ada beberapa lembaga dan TNI AL yang mempertimbangkan anjungan tersebut untuk keperluan non-migas," ujar Fatar kepada CNNIndonesia.com.
[Gambas:Video CNN] (sas/glh)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2Q0LUlj
via IFTTT
No comments:
Post a Comment