Dalam laporan bertajuk Global economic risks and implications for Indonesia yang dirilis September 2019, lembaga internasional tersebut menyatakan secara umum sistem keuangan Indonesia 'tahan banting'. Namun, dua bidang memerlukan tindakan dan kebijakan sesegera mungkin.
Misalnya, dengan menjaga kredibilitas sistem keuangan, mengatasi kelemahan di sektor asuransi. Ia menyinggung dua perusahaan asuransi jiwa nasional terbesar yang belum dapat memenuhi kewajibannya dalam membayarkan klaim kepada para nasabahnya.
"Dua perusahaan (Bumiputera dan Jiwasraya) belum dapat memenuhi kewajibannya. Perusahaan mungkin menjadi tidak likuid dan membutuhkan perhatian segera," tulis laporan tersebut dikutip Senin (9/9).
Imbauan Bank Dunia agar pemerintah memperhatikan Bumiputera dan Jiwasraya bukan tanpa alasan, mengingat perusahaan asuransi tersebut diperkirakan memiliki 7 juta nasabah dengan lebih dari 18 juta polis asuransi. Ironis, karena nasabah-nasabah tersebut berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah dan kelas menengah."Bagaimana cara memperbaikinya? Lakukan penilaian terperinci atas kesenjangan aktuaria. Setelah dilakukan penilaian, segera lakukan pemulihan atau penyelesaian," terang laporan tersebut.
Diketahui, Bumiputera dan Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim kepada nasabahnya. Persoalan gagal bayar Bumiputera bahkan sempat berlarut-larut sampai OJK berupaya melakukan upaya penyelamatan.
Sementara, kasus gagal bayar Jiwasraya terkuak pada tahun lalu. Perusahaan asuransi jiwa BUMN ini tercatat menunda pembayaran klaim sebesar Rp802 miliar kepada 711 pemegang polisnya.Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menyebut OJK mengulur waktu dan seolah-olah buang badan dalam menyelesaikan persoalan Bumiputera dan Jiwasraya. Lihatlah, terkait Jiwasraya, OJK seperti melempar kewenangan ke Kementerian BUMN.
"Microprudential industri jasa keuangan itu wewenangnya OJK, bukan BUMN. Dimana jiwa leadership-nya OJK? Ketika upaya penyelesaian Bumiputera, sudah bagus tuh, dibuat RBC (risk based capital) perusahaan asuransi jiwa berstatus mutual, sekarang Jiwasraya juga dong, buka persoalannya," terang dia.
[Gambas:Video CNN]
Konglomerasi Keuangan
Selain menyoroti persoalan asuransi, laporan Bank Dunia juga menyinggung tentang ketahanan dan kesehatan konglomerasi keuangan. Penilaian Bank Dunia menyebut bahwa konglomerat keuangan mewakili 88 persen aset perbankan.
Tetapi, terdapat kesenjangan yang cukup parah dalam regulasi dan pengawasan. "Untuk mengatasinya tetapkan pengawasan risiko dan lakukan revisi Undang-undang (UU) OJK, serta mengharuskan OJK untuk menyelaraskan peraturan," imbuh laporan itu.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, saat menerima delegasi Bank Dunia pada Kamis (5/9) lalu, menuturkan pengawasan yang dilakukannya adalah mengawasi entitas utamanya. Jika bank adalah entitas utama, maka pengawasan terintegrasi dilakukan oleh pengawas perbankan.
"Begitu juga dengan pengawasan entitas utama di industri pasar modal dan IKNB. Jika perusahaan dalam konglomerasi keuangan adalah cross sectoral, OJK menerapkan pembentukan Komite Pengawasan Terintegrasi yang secara periodik melakukan rapat komite," ujarnya melalui Instagram.OJK, sambung diah, telah memiliki tools yang digunakan dalam menilai tingkat kesehatan dan profil risiko konglomerasi keuangan, yaitu IRR (Integrated Risk Rating) dan supervisory plan, serta mengintegrasikan seluruh data lintas sektor.
"OJK percaya dengan pengawasan terintegrasi dapat efektif dan efisien menjalankan amanat UU OJK dalam melaksanakan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan," jelas Wimboh. (bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/302UZtw
via IFTTT
No comments:
Post a Comment