Hal itu diungkapkannya usai rapat terbatas bersama Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (3/9). Ia mengatakan kepala negara sudah menerima hitung-hitungan tersebut.
Robert menjelaskan hasil perhitungan potensi kehilangan penerimaan pajak sebenarnya mencapai Rp87 triliun. Angka ini muncul karena relaksasi perpajakan yang akan diberikan cukup banyak mulai 2021 nanti, namun karena implementasi dilakukan secara bertahap, maka potensi kehilangan penerimaan pajak bisa susut menjadi Rp54 triliun.
"Kalau turun langsung, kami lihat ada Rp87 triliun. Tapi kalau bertahap Rp54 triliun pada 2021. Makanya bertahap supaya tidak terlalu drastis," ujar Robert.
Sementara, terkait potensi kehilangan penerimaan pajak untuk tahun-tahun setelah 2021 masih dihitung oleh pemerintah. Pasalnya, pemerintah ingin melihat lebih dulu hasil implementasi kebijakan penurunan tarif pajak sampai 2023 untuk menentukan perhitungan kehilangan penerimaan yang lebih akurat."Mungkin dua tahun setelah itu kami putuskan. Tapi, at least (setidaknya) mulai 2021, tadi kami minta arahan langsung 2021, tapi kami bahas fiskal terkelolanya juga, ekonominya seperti apa nanti," terang dia.
Lebih lanjut, Robert mengklaim rencana kebijakan ini sudah dikomunikasikan kepada dunia usaha selaku penerima relaksasi perpajakan. Salah satunya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sempat 'menagih janji' Jokowi soal penurunan tarif PPh Badan.
"Kami sudah bicara juga ke Apindo, yang diminta kan penurunan tarif PPh Badan. Tapi cuma kami melihat perlu ada beberapa hal yang ditambahkan," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan akan ada delapan relaksasi aturan perpajakan yang diberikan pemerintah. Pertama, diskon tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 20 persen dan 17 persen bagi perusahaan yang akan melantai di bursa saham.Kedua, menghapus pungutan PPh atas dividen perusahaan di dalam maupun luar negeri apabila dividen ditanamkan dalam bentuk instrumen investasi di dalam negeri. Ketiga, memungut pajak bagi Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia setidaknya dalam durasi 183 hari.
Keempat, pengurangan tarif denda atas sanksi tidak membuat faktur pajak dan keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan karena kasus kurang bayar dari semula 2 persen menjadi 1 persen.
Kelima, pemberian relaksasi terhadap pengkreditan pajak bagi Perusahaan Kena Pajak (PKP), terutama yang selama ini barangnya dibukukan sebagai obyek pajak.
Keenam, pemberian insentif pajak dalam satu bagian, mulai dari tax holiday, super deductiable tax, fasilitas pengurangan PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), hingga PPh untuk Surat Berharga Negara (SBN) di pasar internasional.Ketujuh, izin pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi perusahaan digital internasional yang ada di Indonesia, seperti Google, Amazon, Netflix, Facebook, Twitter, dan lainnya.
Kedelapan, pemerintah akan mengubah status Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi perusahaan digital internasional yang ada di Indonesia, sehingga mereka tidak harus memiliki fisik kantor di dalam negeri, namun tetap dikenakan pungutan pajak yang berlaku.
Ia mengatakan pemerintah sengaja mengeluarkan berbagai aturan perpajakan baru sebagai respons atas kondisi ekonomi saat ini. "Presiden sampaikan bahwa kami harus bisa me-respons kebutuhan ekonomi yang dinamis, cepat, dan dari perubahan kebijakan fiskal di berbagai negara," tandas Sri Mulyani.
[Gambas:Video CNN] (uli/bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2LgF1Ia
via IFTTT
No comments:
Post a Comment