Dilansir dari Reuters, Selasa (17/9), harga minyak mentah berjangka Brent melejit US$8,8 atau 14,6 persen menjadi US$69,02 per barel. Lonjakan tersebut merupakan lonjakan harian terbesar setidaknya sejak 1988.
Juru Bicara Intercontinental Exchange Rebecca Mitchell juga melaporkan terdapat lebih dari 2 juta kontrak berjangka Brent yang diperdagangkan, rekor harian tertinggi sepanjang sejarah.
Lonjakan harga juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$8,05 atau 14,7 persen menjadi US$62,9 per barel, kenaikan harian tertinggi sejak Desember 2008.
Serangan terhadap fasilitas minyak mentah Arab Saudi menambah ketidakpastian di pasar yang relatif telah berkurang dalam beberapa bulan terakhir.
Akibat serangan itu, volatilitas pasar mencapai level tertinggi sejak Desember tahun lalu. Aktivitas perdagangan pun menunjukkan ekspektasi kenaikan harga yang lebih tinggi di masa mendatang."Serangan pada infrastruktur minyak Arab Saudi datang sebagai sesuatu yang mengejutkan," ujar Analis Pasar Energi CHS Hedging LLC Tony Headrick seperti dikutip dari Reuters.
Menurut Headrick, perhatian pasar kini teralih pada proyeksi pasokan, terutama bagi pihak yang tidak siap akan risiko tersebut.
Arab Saudi merupakan eksportir minyak terbesar dunia dengan keunggulan komparatif berupa kapasitas cadangan yang besar.
Pekan lalu, fasilitas pengolahan minyak mentah perusahaan pelat merah Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais mengalami penyerangan. Peristiwa itu memangkas produksi hingga 5,7 juta barel per hari.
Kondisi tersebut membuat sejumlah pihak mempertanyakan kemampuan perusahaan mempertahankan ekspornya. Namun, Aramco belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait waktu untuk memulihkan pasokan sepenuhnya.Sumber dari pelaku industri menyatakan ekspor minyak Arab Saudi akan kembali normal pada pekan ini seiring langkah kerajaan untuk menggunakan persediaan dari fasilitas penyimpanannya yang besar.
Namun, dua sumber Reuters yang mendapatkan pengarahan terkait operasional Saudi Aramco menyatakan upaya pemulihan produksi sepenuhnya berpotensi menghabiskan waktu berbulan-bulan.
"Saya pikir tidak ada yang benar-benar cukup untuk mengimbangi apa yang hilang dari sini (produksi Saudi Aramco) untuk beberapa waktu, dan bahkan tidak tahu akan berapa lamanya," ujar Analis Hedgeye Research Joe McMonigle.
Iran Diduga Jadi Biang Kerok
Pada Senin (16/9) kemarin, perwakilan intelijen AS menyatakan bukti mengarah pada Iran sebagai pihak yang berada di belakang serangan tersebut. Hal itu memicu berbagai tanggapan yang mengguncang pasar minyak dunia dan pasokan global lebih jauh.
Presiden AS Donald Trump menyatakan ia tidak ingin terburu-buru untuk menanggapi dan menunggu rincian informasi lebih lanjut.
Tanggapan itu bertolak belakang dengan cuitan Trump melalui akun Twitter resminya pada Minggu (15/9) lalu yang menyatakan AS siap merespons serangan tersebut.
Ekspor minyak dari AS tercatat mencapai 3 juta bph. Hal ini dapat mengerek aktivitas pengapalan lebih jauh. Namun, Trump telah menyetujui pelepasan minyak dari cadangan minyak strategis AS yang menahan lebih dari 640 juta barel minyak mentah.
[Gambas:Video CNN]
Di sisi lain, importir minyak utama dari Arab Saudi seperti India, China, Jepang, dan Korea Selatan akan menjadi pihak yang paling rentan jika terjadi gangguan pasokan.
Kendati demikian, beberapa negara menyatakan akan menggunakan pasokan darurat untuk menjaga pasokan minyak dunia. Korea Selatan misalnya, telah menyatakan akan mempertimbangkan untuk menggunakan minyak dari cadangan strategisnya.
Anggota Badan Energi Internasional diharuskan untuk menjaga hasil impor untuk 90 hari di penyimpanan untuk meredam goncangan terhadap pasokan. (lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/31siYnj
via IFTTT
No comments:
Post a Comment