Sebelumnya, lonjakan harga minyak dipicu oleh serangan terhadap dua kilang Arab Saudi hingga memangkas separuh produksinya. Reuters melaporkan harga minyak mentah berjangka Brent melejit US$8,8 atau 14,6 persen menjadi US$69,02 per barel pada perdagangan Senin (16/9), waktu Amerika Serikat (AS).
"Kalau dilihat dari asumsi APBN, selama ini kan (ICP) malah lebih rendah. Kami melihat bahwa, pertama, kalau koreksi yang sifatnya jangka pendek mungkin masih bisa akan ter-absorb (redam)," katanya, Selasa (17/9).
Sebagai catatan, ICP Agustus 2019 tercatat US$57,26 per barel atau merosot 6,6 persen dari bulan sebelumnya, US$61,32 per barel. Angka tersebut masih lebih rendah dari asumsi ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, US$70 per barel.
Namun demikian, ia menyatakan pemerintah bakal mengantisipasi imbas kenaikan harga dalam jangka menengah hingga jangka panjang. Pasalnya, serangan tersebut telah menyasar Arab Saudi yang merupakan produsen minyak mentah utama di kawasan Timur Tengah bahkan dunia."Karena (serangan) ini mempengaruhi apa yang disebut konstelasi politik dan keamanan di Timur Tengah," imbuhnya.
Untuk itu, pemerintah akan menunggu reaksi dari Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Iran.
Sebenarnya, setiap kenaikan ICP dari asumsi makro bakal menambah pendapatan negara. Berdasarkan buku 'Nota Keuangan beserta APBN 2019', setiap US$1 kenaikan ICP dari asumsi makro APBN 2019 bakal menambah pendapatan negara sebesar Rp3,1 triliun hingga Rp4,2 triliun dan belanja negara sebesar Rp1,7 miliar hingga Rp3,2 miliar.
[Gambas:Video CNN]
Dengan demikian, setiap US$1 kenaikan ICP dari asumsi makro APBN 2019 akan membuat APBN 2019 surplus sekitar Rp1 triliun hingga Rp1,4 triliun.
Sebagai informasi, pekan lalu, fasilitas pengolahan minyak mentah perusahaan pelat merah Saudi Aramco di Abqaiq dan Khurais mengalami penyerangan. Peristiwa itu memangkas produksi minyak Saudi Aramco hingga 5,7 juta barel per hari.
from CNN Indonesia https://ift.tt/2AnE7TV
via IFTTT
No comments:
Post a Comment