Ini artinya, pemerintah akan mengecek lagi jumlah impor tekstil yang dilakukan oleh industri. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan audit sengaja dilakukan lantaran ada potensi kebocoran impor tekstil.
Kebocoran tersebut berdampak negatif bagi industri tekstil beberapa waktu terakhir. Menurutnya, potensi kebocoran timbul karena produsen terkadang tidak jujur terkait jumlah yang dibutuhkan industri.
"Kami sepakat dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), bersama dengan Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tetib Niaga (PKTN), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu), itu satgasnya terdiri dari itu untuk mengaudit kapasitas industri dan berapa kebutuhannya," ucap Enggartiasto di Malang, Rabu malam (2/10).
Enggartiasto belum bisa memastikan di mana letak kebocoran impor tekstil tersebut. Hal yang pasti, kebocoran itu bukan berada di Pusat Logistik Berikat (PLB)."Apa bocor lewat PLB, tidak. Itu ada tempat mereka (impor tekstil) masuk dan teorinya diperiksa," tutur Enggartiasto.
Hanya saja, sambungnya, tak menutup kemungkinan ada kesalahan dari pemeriksaan impor di PLB yang saat ini dilakukan oleh lembaga survei. Oleh karena itu, pemerintah berencana mengembalikan pemeriksaan ke DJBC.
"Jadi bukan sistem PLB nya, tapi pemeriksaanya ini. Kuncinya kami akan periksa dan ubah sistem PLB ke DJBC. Kami akan keluarkan izin impor berdasarkan kapasitas industri yang akan dilakukan audit segera," tegas Enggartiasto.
[Gambas:Video CNN]
Bila impor sesuai dengan kebutuhan, Enggartiasto mengklaim industri dalam negeri akan lebih terproteksi secara langsung. Kendati begitu, ia memastikan pemerintah tak akan membatas impor jika memang untuk kebutuhan bahan baku.
"Impor tidak mungkin disetop kalau industri minta sebagai bahan baku karena bahannya tidak diproduksi di dalam negeri, dan kalau untuk ekspor juga tidak bisa kami hentikan," jelas dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan produk tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tak mampu bersaing dengan produk impor. Alasannya, biaya produksi industri di Indonesia lebih tinggi ketimbang mendatangkan produk dari luar negeri.
Ade bilang kondisi itu dipicu oleh bea masuk industri TPT yang tidak harmonis. Menurutnya, industri hulu mendapatkan bea masuk lebih tinggi ketimbang industri hilirnya.
Sebagai contoh, produk serat dan benang filamen dikenakan bea masuk 5 persen ditambah bea masuk anti dumping sebesar 9-15 persen, sehingga totalnya menjadi 14-20 persen. Namun, industri hilir mendapatkan mendapatkan fasilitas bea masuk 0 persen."Sehingga daripada buat kain di sini, lebih baik impor," ucap Ade.
Walaupun sedang digempur oleh produk impor, tapi industri TPT masih tumbuh positif pada awal tahun ini. Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Muhdori menyatakan industri TPT meningkat pada kuartal I 2019 menjadi 18,98 persen dari periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar 7,46 persen.
Dengan demikian, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia ikut naik. Semula hanya 5,72 persen, tapi dalam tiga bulan terakhir menjadi sebesar 6,43 persen.
(aud/agt)from CNN Indonesia https://ift.tt/2oAgsx5
via IFTTT
No comments:
Post a Comment