Selintas, keberadaan PIMD mengingatkan pada peran Pertamina Energi Trading Limited (Petral), entitas trading arm perseroan yang berkedudukan hukum di Hong Kong dan memiliki anak usaha di Singapura, Pertamina Energi Service Ltd (PES).
Petral telah dibubarkan pada 2015 lalu. Kala itu, pembubaran entitas jual beli minyak tersebut merupakan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau yang lebih dikenal sebagai Tim Antimafia Migas. Tim yang diketuai oleh ekonom Faisal Basri itu menilai Petral perlu dibubarkan untuk menciptakan tata kelola migas yang bersih.
Pasalnya, Petral menjadi 'kendaraan' bagi mafia migas yang menciptakan inefisiensi di tubuh Pertamina. Setelah diselidiki oleh Tim Anti Mafia Migas, terjadi proses tender pengadaan impor minyak mentah yang tak lazim dan berbelit-belit. Pemenang tender disinyalir dari kelompok tertentu saja karena mendapatkan informasi dari dalam.
Baru-baru ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menetapkan eks Direktur Utama Petral Bambang Irianto sebagai tersangka kasus dugaan suap kala ia menjabat sebagai VP Marketing PES pada 2010-2013.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai pembentukan trading arm sejatinya lazim dilakukan oleh perusahaan migas di seluruh dunia, terutama yang bermain di sektor hilir. Trading arm dimaksudkan untuk mempermudah pemasaran produk.
Ia juga memahami alasan perusahaan mendirikan entitas anak usahanya di Singapura. Saat ini, Singapura memang menjadi pusat perdagangan migas di wilayah Asia Pasifik.
"Kalau Anda tinggal di BSD lalu ingin menjual kain dan membuka gerai di Tanah Abang kan merupakan hal yang wajar." ujarnya.
Menurut Komaidi, perluasan bisnis ke pasar internasional bisa menjadi cara perseroan untuk menutup kerugian dari penugasan penyaluran BBM di dalam negeri yang ditugaskan oleh pemerintah.
"Di dalam negeri, untuk bisnis hilir, mereka (Pertamina) relatif tidak belajar sebagaimana mestinya karena diintervensi oleh pemerintah," jelasnya.
Namun demikian, Komaidi juga mengingatkan pentingnya tata kelola usaha yang baik dan transparan dalam bisnis PIMD.
"Pelajaran yang berharga dari kasus Petral kemarin tentu harus diambil oleh Pertamina," jelasnya.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi khawatir sejarah Petral akan terulang kembali dengan berdirinya PIMD.
"Awalnya, Petral juga untuk ekspor minyak, lalu berubah hanya impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM), yang menjadi sasaran mafia," ujar Fahmy kepada CNNIndonesia.com, Rabu (9/10).
Menurutnya, aksi korporasi itu tidak perlu dilakukan jika berkaca pada keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membubarkan Petral. Selain itu, kapasitas bisnis ritel perseroan dan profit yang akan dihasilkan juga kecil sehingga ia menilai bisnis ritel itu bisa dilakukan dari Jakarta.
Ia juga mengingatkan apabila PIMD ingin menjadi perusahaan trading minyak, perseroan harus keluar modal untuk menyiapkan fasilitas penyimpanan, pencampuran (blending) dan transportasi.
"Tanpa fasilitas-fasilitas itu, perannya hanya sebagai makelar saja," ucapnya.
[Gambas:Video CNN]
Lokasi kantor pusat di Singapura, sambung ia, juga akan menyulitkan pengawasan aktivitasnya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kondisi tersebut bisa dimanfaatkan oleh oknum yang ingin berburu rente.
Mengingat nasi sudah menjadi bubur, untuk mencegah kejadian Petral terulang kembali, ia menilai Pertamina harus menciptakan tata kelola yang bersih dan transparan di tubuh PIMD. Selain itu, perseroan juga harus memilih orang-orang yang berintegritas tinggi untuk menduduki jabatan strategis di entitas anak usahanya.
"Perlu ada sistem untuk untuk mengawasi dan mengontrol (PIMD)," ujarnya.
Pertamina membantah pembentukan PIMD dilakukan untuk mengganti peran Petral. Pasalnya, entitas baru itu memiliki pasar di luar negeri, bukan di dalam negeri.
Dalam hal ini, PIMD menjadi bagian perseroan untuk membantu penjualan ke luar negeri, bukan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Pemenuhan kebutuhan minyak mentah maupun produk BBM domestik tetap dilakukan sesuai amanat pemerintah. Peran tersebut telah dipegang oleh fungsi internal perseroan melalui Integrated Supply Chain (ISC).
Sementara, PIMD juga berperan untuk menangkap peluang bisnis pasar penyimpanan minyak di kapal (bunker) di Asia Tenggara, terutama di Singapura.
Di tahap awal, perseroan menargetkan penjualan bunker PIMD sekitar 60 ribu metrik ton (MT) per bulan dan targetnya akan meningkat terus hingga 200 ribu MT.
"Perusahaan pengapalan (shipping company) di Singapura lebih memilih membeli bunker dari perusahaan Singapura karena terkait dengan pengembalian pajak (tax refund) sehingga untuk menjangkau pasar bunker di sana perseroan harus membentuk perusahaan di Singapura," ujarnya.
Ke depan, anak usaha yang dimiliki 100 persen sahamnya oleh Pertamina ini juga akan menangkan peluang penjualan produk lainnya secara langsung ke konsumen akhir kembali memperkenalkan merek perseroan di kancah global.
Sebab, PIMD diproyeksikan untuk dapat memasuki pasar penjualan bahan bakar ritel dan LPG di wilayah regional yakni Filipina, Thailand, dan Myanmar.
"Kalau perusahaan migas lain bisa menggarap pasar kita kenapa Pertamina tidak?" ujarnya. (lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/3226XFL
via IFTTT
No comments:
Post a Comment