Pun demikian, BI membela bahwa Indonesia bukan satu-satunya yang terpuruk, sebab sejumlah negara di dunia turut merasakan perlambatan ekonomi.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menjelaskan perlambatan laju ekonomi Indonesia setidaknya sudah terlihat dari kinerja ekspor yang menurun dalam separuh pertama tahun ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Juni 2019 hanya mencapai US$11,78 miliar.
Realisasi tersebut turun sekitar 20,54 persen dari Mei 2019 dan turun 8,98 persen dari Juni 2018. Sementara, realisasi kumulatif ekspor Januari-Juni 2019 sebesar US$80,32 miliar atau turun 8,57 persen dari Januari-Juni 2018.
Begitu pula dengan impor. Kinerja impor Juni 2019 sebesar US$11,58 miliar atau turun 20,7 persen dari bulan sebelumnya. Secara kumulatif, impor Januari-Juni 2019 turun 7,63 persen dari periode yang sama tahun lalu menjadi US$82,26 miliar.
"Perlambatan impor menunjukkan perlambatan aktivitas ekonomi, begitu juga dengan ekspor," ungkap Mirza di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Selasa (23/7).
Sinyal perlambatan ekonomi ini membuat bank sentral nasional menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Tanah Air pada tahun ini menjadi di bawah 5,2 persen. Padahal awalnya BI memperkirakan perekonomian akan tumbuh sampai 5,4 persen.
"PDB (produk domestik bruto/pertumbuhan ekonomi) yang semula kami katakan di range 5,0-5,4 persen, nantinya akan berada di bawah titik tengah itu," katanya.
Kendati laju ekonomi dalam negeri melambat, namun Mirza mengklaim kondisi ini bukan hanya dirasakan oleh Indonesia. Namun, hampir seluruh negara di dunia juga merasakan kondisi perlambatan.
"Tren impor melambat juga untuk Malaysia dan Thailand juga. Ekspor juga, Malaysia turun, Thailand minus, Singapura juga. Ini semua mengonfirmasi bahwa ekonomi dunia melambat," jelasnya.
Sinyal lain yang membuktikan ada perlambatan ekonomi di tingkat dunia, katanya, juga berasal dari perubahan arah kebijakan moneter dari bank-bank sentral di dunia. Begitu pula dengan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve yang sudah memberi sinyal penurunan suku bunga acuan.
"Kami punya ruang untuk turunkan bunga karena The Fed sudah beri statement dovish. Para tetangga juga sudah merespons perlambatan ekonomi, seperti bank sentral Australia sudah turunkan dua kali, bank sentral India tiga kali, dan bank sentral Malaysia dan Filipina juga sudah, BI pun begitu," terang Mirza.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejatinya tetap berada di arah yang benar dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan yang menurun, serta indeks pembangunan manusia yang membaik.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana Indonesia bisa mempercepat laju pertumbuhan ekonomi tersebut sembari menjaga perbaikan kualitasnya.
"Kalau ada yang menginginkan lebih cepat, itu menurut saya (persoalannya), ya pemerintah juga ingin lebih cepat," katanya.
Menurut Ani, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia mendapatkan tantangan dari sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi dalam negeri menghadapi hambatan dari tren perlambatan perekonomian global.
[Gambas:Video CNN]
Kondisi itu langsung menghantam ekspor Indonesia. Untuk mengimbanginya, pemerintah berupaya untuk mendorong investasi, konsumsi, dan belanja pemerintah.
Dari sisi produksi maupun penawaran, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas perekonomiannya, mengingat tingkat produksi perekonomian sudah hampir menyamai kapasitasnya saat ini.
"Semua ini berujung bagaimana meningkatkan investasi di Indonesia. Oleh karena itu, arahan dari Presiden (Jokowi) supaya kami bekerja memperbaiki iklim investasi agar menjadi baik," tandasnya.
(uli/bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2y4LGOd
via IFTTT
No comments:
Post a Comment