Karhutla bukan peristiwa yang baru bagi Indonesia. Pada Juni - Oktober 2015 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat 2,6 juta hektare terbakar di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat area terbakar mencapai 328.724 hektare dengan 2.719 titik panas sepanjang periode Januari-Agustus 2019.
Setiap kali karhutla terjadi, industri sawit akan disudutkan. Hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, Karhutla tak hanya disebabkan musim kemarau yang berkepanjangan, tetapi juga diduga terpicu aktivitas pembukaan lahan perkebunan yang tidak bertanggung jawab.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengungkapkan isu karhutla memberikan sentimen negatif terhadap industri sawit yang juga menghadapi kampanye hitam di dunia internasional.
Derom tak memungkiri bahwa praktik penanaman sawit berkelanjutan belum sepenuhnya dilakukan oleh pelaku industri sawit di Indonesia, meski dari sisi cakupan lahan sudah cukup banyak, yaitu lebih dari 5 juta hektare (ha).Sejumlah perusahaan juga sudah mengantongi sertifikasi praktik berkelanjutan sesuai standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustanaible Palm Oil (RSPO). Pemegang sertifikat biasanya akan diawasi secara berkala.
"Yang sudah melakukan praktik berkelanjutan tentu saja tidak menyebabkan terjadinya areal kebakaran," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/9).
Pembakaran hutan untuk membuka hutan sudah dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian. Namun, di beberapa daerah, masih ada yang mengizinkan pembakaran hutan hingga luasan tertentu, misalnya 2 ha.
"Mereka yang mendapatkan izin (membakar) itu, ada kemungkinan apinya merembet ke kebun yang ada pohon sawitnya. Secara logika, yang punya pohon sawit tidak mau membakarnya, karena itu modal dan merupakan aset yang penting," jelasnya.
Menurut Derom, perusahaan besar akan lebih memilih untuk membuka lahan dengan cara yang legal meski memakan biaya. Hal itu untuk menjaga reputasi perusahaan di mata dunia internasional.Pembukaan lahan biasanya menggunakan alat berat yang memakan biaya Rp5 juta hingga Rp6 juta per ha. Kemudian ada biaya untuk pembersihan lahan, penanaman tanaman kacang-kacangan, dan pembelian bibit baru. Total biaya pembukaan lahan bisa mencapai Rp60 juta hingga Rp70 juta per ha.
Menurut Derom, skema pengawasan perusahaan besar ke mitra perusahaan masih perlu ditingkatkan guna mencegah praktik yang tidak berkelanjutan dilakukan di tingkat bawah.
"Dengan kejadian (karhutla) ini, banyak perusahaan (sawit) yang prihatin. Banyak perusahaan yang merasa sebagai korban karena bukan mereka penyebab api dan mereka sudah membantu memadamkan api, tetapi dapat saja terjadi api sampai ke kebun mereka," jelasnya.
Dugaan praktik sawit yang tidak berkelanjutan sebagai penyebab karhutla diperkuat setelah KLHK menyegel 42 lahan perusahaan dan satu lahan milik individu yang diduga terlibat dalam karhutla pada pekan lalu. Bahkan, empat korporasi ditetapkan sebagai tersangka.
"Empat korporasi ini adalah PT ABP yang bergerak di perkebunan sawit Kalimantan Barat, kedua PT AER juga perkebunan sawit di Kalimantan Barat, ketiga PT SKN, dan keempat PT KS di Kalimantan Tengah," ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani.Dalam keterangan tertulis pada awal pekan ini, Pelaksana Harian Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo menyampaikan dugaan Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait unsur kesengajaan dalam pola karhutla saat mengunjungi lokasi karhutla Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, Minggu (15/9) lalu. Hal itu mengingat areal yang terbakar hanya hutan, sementara areal kebun sawit dan tanaman lainnya tidak terbakar.
"85 persen areal kebakaran berada di luar konsensi sawit," ujarnya.
Laporan Bupati Pelalawan menyatakan bahwa 80 wilayah karhutla selalu berubah menjadi lahan perkebunan sawit atau tanaman industri lainnya.
Konsumen Tak Peduli Asal Produk Sawit
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai kesulitan dalam mendorong praktik sawit berkelanjutan perusahaan tak lepas dari minimnya tuntutan konsumen domestik akan hal itu.
"Konsumen kan hanya melihat produk akhirnya saja. Banyak konsumen yang tidak aware (sadar) bahwa produk yang digunakan berasal dari minyak kelapa sawit dan turunannya," ujarnya.
Fithra mencontohkan, saat ini, belum semua pemain industri sawit bersedia mengurus sertifikat berkelanjutan yang memakan biaya. Salah satu penyebabnya adalah konsumen Indonesia belum menganggap hal itu penting.
Berbeda halnya dengan perlakuan konsumen terhadap sertifikat halal yang langsung mempengaruhi keputusan untuk membeli produk.
Menurut Fithra, konsumen di Indonesia lebih sensiti terhadap harga dibandingkan sertifikat berkelanjutan. Kondisi ini, berbeda dengan konsumen negara maju yang sudah menjadikan praktik berkelanjutan sebagai pertimbangan untuk membeli produk.
"Pada akhirnya, kita bicara tentang pembangunan ekonomi. Di sana (negara maju) sudah memiliki keleluasaan finansial untuk melakukan pilihan. Di sini, jangankan untuk memilih produk berdasarkan itu (keberlanjutan), untuk makan sehari-hari saja masih sulit," tuturnya.Ketika konsumen menuntut suatu produk untuk mencantumkan label 'berkelanjutan', produsen akan berupaya untuk memenuhinya agar produknya tidak ditinggalkan.
Mengingat tuntutan di Indonesia masih minim, tak heran praktik sawit yang tidak berkelanjutan masih terjadi. Misalnya, praktik membuka lahan melalui pembakaran hutan karena biayanya yang lebih murah.
Praktik ini, menurut Fithra, biasanya dilakukan oleh pemain kecil yang mungkin bermitra dengan perusahaan besar. Perusahaan besar terkait bisa saja mengklaim sudah melakukan praktik sawit berkelanjutan.
"Dari sisi kesinambungan, seharusnya menjadi perhatian produsen besar dalam mengedukasi mitra dan mengevaluasi strategi dalam membuka lahan baru karena akan mempengaruhi reputasi mereka juga di mata dunia internasional," imbuhnya.
Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang juga menilai peran konsumen penting dalam mendorong praktik berkelanjutan perusahaan.Sebelumnya, RSPO merupakan asosiasi berskala internasional dari berbagai sektor industri kelapa sawit yang merumuskan standar produksi minyak sawit berkelanjutan.
Dalam memperoleh sertifikat berkelanjutan, anggota harus bersedia diaudit oleh auditor eksternal terkait pemenuhan standar produksi berkelanjutan. Dalam proses sertifikasi, perusahaan sebelumnya harus menyusun rencana untuk menuju praktik berkelanjutan.
"Biasanya proses sertifikasi tidak langsung. Mereka (perusahaan) harus siap-siap dulu. Ada kebijakan-kebijakan yang harus dibuat sebagai sesuatu yang baru atau kebijakan yang diubah misalnya ketentuan mengenai buruh, status karyawan, dan metode perkebunan yang baik," jelasnya.
Adapun sertifikat yang diterbitkan oleh auditor akan berlaku selama 5 tahun. Perusahaan yang sudah mengantongi sertifikat harus menjaga praktik keberlanjutan karena setiap tahun ada audit pengawasan.
"Kami mengharuskan, ketika mereka menjadi anggota RSPO, mereka bukan hanya asal masuk menjadi anggota tetapi memang mereka ingin menuju standar praktik berkelanjutan," terangnya.
Selain itu, asosiasi juga menerapkan mekanisme pelaporan jika ada anggota yang mengetahui anggota lain melakukan praktik yang tak berkelanjutan. Sebagai transparansi, asosiasi akan mencantumkan perusahaan-perusahaan mana saja yang diduga melakukan pelanggaran.Anggota yang lalai akan diberikan waktu untuk memperbaiki proses bisnisnya. Jika tetap membandel, asosiasi akan mengeluarkan anggota terkait. Perusahaan biasanya tidak ingin hal itu terjadi karena akan merusak reputasi bisnis di mata dunia internasional.
"Perusahaan yang sudah go publik (apabila dikeluarkan), sahamnya bisa goncang. Pembeli bisa tidak ingin pembeli lagi dan pembiayaan dari sejumlah perusahaan jasa keuangan bisa mencabut pembiayaannya," ujarnya.
Di Indonesia, Tiur menyebutkan sertifikat RSPO baru mencakup 19 persen dari total lahan sawit yang berkisar 12 juta hektare (ha).
"Dalam persyaratan RSPO, pembakaran hutan dalam bentuk apapun sudah tidak boleh walaupun ada aturan di beberapa daerah yang menganggap pembakaran itu boleh karena kearifan lokal. Di kami, sudah tidak boleh (pembakaran hutan)," tegasnya.
Perusahaan yang sudah mengantongi sertifikat tersebut kebanyakan adalah pemain pasar internasional terutama yang bermain yang di Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Jepang. Hal ini terjadi konsumen negara maju menuntut produk yang digunakan mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Selain perusahaan yang bermain di pasar internasional, sertifikat berkelanjutan juga dikejar oleh pemain baru yang ingin menjaga keberlangsungan bisnisnya untuk jangka panjang. Perusahaan terkait biasanya sudah membaca tuntutan ke depan dari konsumen yang semakin cerdas.
"Kebanyakan perusahaan yang mengeluarkan investasi besar akan memikirkan bisnis untuk jangka panjang," jelasnya.
Melihat hal itu, ia menilai praktik keberlanjutan tidak hanya bergantung dari kesadaran produsen dan keberadaan aturan pemerintah yang menuntutnya. Namun, tak kalah penting, kesadaran konsumen juga memegang peran penting.
Upaya meningkatkan kesadaran konsumen memang tidak mudah dilakukan. Bahkan masih ada konsumen yang tidak mengetahui produk yang digunakannya mengandung minyak kelapa sawit dan turunannya.
Untuk itu, edukasi perlu diberikan secara konsisten dan sedini mungkin, baik kepada produsen maupun konsumen. Di saat yang sama, pemerintah juga perlu menegakkan hukum yang berlaku, terutama dalam hal praktik perkebunan berkelanjutan.
"Semuanya itu harus seiring, sejalan. Ketika pasar bergerak, pemerintah juga bergerak untuk menciptakan situasi yang kondusif untuk konsumen mengkonsumsi dan produsen berproduksi," pungkasnya. (sfr/lav)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2Iatk3B
via IFTTT
No comments:
Post a Comment