Lebih rinci ia menjelaskan variabel tersebut, pertama, harga minyak mentah Indonesia (ICP) turun di kisaran US$63 per barel dari sebelumnya US$65 per barel. "Koreksi ini berpengaruh terhadap postur pendapatan dan belanja dalam RAPBN 2020," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/9).
Kedua, inflasi yang relatif rendah dan terjaga. Pada periode Januari-Agustus 2019, inflasi tercatat sebesar 2,48 persen, dengan target sepanjang tahun 3,5 persen. Ketiga, prospek nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berkisar Rp14.250. Sementara, realisasinya masih di bawah angka tersebut.
Faktor lain yang tak kalah penting, sambung Fahmy, biaya energi primer yang menjadi penentu HPP listrik cenderung turun. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) harga batu bara yang dijual ke PLN sebesar US$70 per metric ton.
"Melihat empat variabel di atas, saya kira tidak ada urgensi kenaikan tarif listrik tahun depan. Justru, potensinya tarif listrik turun, karena variabel yang menentukan tarif juga turun, meskipun alokasi subsidi listrik dipangkas," tegas dia.Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas alokasi anggaran subsidi energi, baik BBM, gas elpiji 3 kilogram, maupun listrik, pada RAPBN 2020. Penurunan mencapai Rp12,6 triliun, yakni dari Rp137,5 triliun menjadi hanya sebesar Rp124,9 triliun.
Khusus untuk listrik, pemerintah menurunkan anggaran subsidinya sebesar Rp7,4 triliun.
"Anggaran subsidi turun akibat penurunan asumsi ICP, lifting migas, dan penurunan cost recovery. Kemudian, ada penajaman sasaran pelanggan golongan 900 VA untuk subsidi listrik," kata Sri Mulyani di Gedung DPR, akhir pekan lalu.
[Gambas:Video CNN] (bir)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2A6AdyA
via IFTTT
No comments:
Post a Comment